Sejarah Yang Tak Terlupakan, Yahudi Adalah Nenek Moyang Wahabi


Sejarah akan terus membongkar Aib  Para Pembelot Agama Islam Akhir Zaman. Hujjah-hujjah serta polemik sandiwara politik tidak akan bisa mengubur sejarah dan kebenaran.
Perihal Konspirasi British dan Zionis terhadap seluruh dunia dan Ummat Islam yang telah diberitakan dalam hadits-hadits mengenai akhir zaman.

Dari manakah DINASTI SAUDI berasal..? 
Siapakah nenek moyang mereka..?

Dari penelitian dan pengkajian, MOHAMMAD SAKHER, seorang ahli sejarah, ditemukan fakta-fakta yang akan kami sampaikan, namun kemudian Mohammad Sakher ditemukan terbunuh dan di duga  Rezim Saudi memerintahkan untuk membunuhnya. 

Apakah anggota keluarga Saudi berasal dari Suku Anza bin Wa’il seperti hasil penelutian Sakher ... ? 
Apakah agama mereka Islam ... ? 
Apakah mereka dari Bangsa Arab asli ... ?

= Berikut Kronologi Faktanya =
----------------------------------------
Adalah Najd (sekarang dinamakan Riyadh), pada tahun 851 H dimana serombongan bani Al-Masalikh, keturunan Suku Anza,  membentuk sebuah kafilah yang dipimpin oleh Sahmi bin Hathlul, ditugaskan untuk membeli bahan makanan, biji-bijian gandum dan jagung ke Iraq. 

Ketika sampai di Basra, mereka menuju ke sebuah toko pakan yang pemiliknya seorang Yahudi bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe.

Ketika sedang tawar-menawar, sang Yahudi pemilik toko tersebut bertanya kepada mereka: “Berasal dari suku manakah anda ?”. Mereka menjawab : “Kami berasal dari Bani Anza,  Suku Al-Masalikh”.

Mendengar nama suku tersebut, orang Yahudi itu memeluk mereka dengan mesra sambil mengatakan bahwa dirinya juga berasal dari Suku Al-Masalikh, namun menetap di Bashra (Iraq) karena permusuhan keluarga antara ayahnya dengan anggota Suku Anza lainnya.

Setelah Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe mengatakan kepada mereka, dia kemudian memerintahkan kepada pembantunya untuk menaikkan barang-barang pembelian kafilah itu ke atas unta-unta mereka.

Sikap Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe yang dinilai baik dan tulus itu membuat rombongan bani Masalikh merasa kagum dan sekaligus menimbulkan kebanggaan kerana dapat bertemu dengan saudara sesama suku di Iraq dimana mereka mendapatkan bahan makanan yang sangat diperlukan.

Mereka menyukai dan juga percaya kepada setiap kata yang diucapkan oleh Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe, karena dia seorang pedagang yang kaya dengan berbagai macam  komoditi usahanya.

Saat kafilah sudah bersiap untuk kembali ke Najd, pedagang Yahudi itu meminta izin untuk menumpang mereka pergi ke tempat asalnya, Najd. Permintaan pedagang Yahudi itu diterima dengan senang hati oleh rombongan bani Al-Masalikh.

Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe pun tiba di Najd. Di Najd, dia mulai menyebarluaskan propaganda dirinya dengan dibantu oleh beberapa orang dari bani Al-Masalikh yang baru tiba bersamanya dari Bashra. Propagandanya berhasil membuat sejumlah orang mendukungnya, tetapi ditentang oleh yang lain yang dipimpin oleh Syekh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi (ulama di kota Al-Qasim) yang wilayah dakwahnya meliputi Najd, Yaman dan Hijaz.

Beliau (Syekh Saleh Salman Abdullah at-Tamimi) mengusir Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe (nenek moyang Keluarga Saudi yang saat ini berkuasa) dari kota Al-Qasim ke kota Al-Ihsa. Di sana, Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe mengganti namanya menjadi Markhan bin Ibrahim Musa untuk mengelabuhi ke-Yahudi-annya, kemudian pindah ke daerah Dir´iyah berdekatan dengan Al-Qatif. 

Di daerah inilah (Dir'iyah) dia mulai menyebarkan cerita rekaannya kepada penduduk kampung mengenai Perisai Nabi Muhammad SAW yang dirampas sebagai rampasan perang oleh orang musyrik Arab sewaktu Perang Uhud.
Perisai itu kemudian dijual oleh orang musyrik Arab kepada Suku Yahudi Bani Qainuqa dan mereka menyimpannya sebagai koleksi barang berharga. 

Perlahan Markhan bin Ibrahim Musa menanamkan pengaruhnya di antara orang-orang Badui dengan cerita dongengnya. 

Sebagaimana kita ketahui bagaimana kuat dan berpengaruhnya suku-suku Yahudi di Arab dan mempunyai kedudukan terhormat.

Yahudi tersebut Markhan (Mordakhai)  menjadi orang yang penting diantara suku Badui dan ia memutuskan untuk tetap tinggal di kota Dir´iyah, berdekatan dengan Al-Qatif dan kemudian menjadikannya sebagai ibu kota di Teluk Persia. 

Markhan (Mordekhai) bercita-cita ingin menjadikan kota itu sebagai batu loncatan untuk membangun kerajaan Yahudi di Tanah Arab.

Dalam rangka memenuhi impiannya, dia mulai mendekati dan mempengaruhi suku Arab Badui padang pasir untuk mendukung posisinya, kemudian menobatkan dirinya sebagai raja mereka.

Pada saat itu, Suku Ajaman bersama-sama dengan Suku Bani Khalid dapat mencium bahaya Yahudi yang licik  dan sangat khawatir dengan rencana jahatnya karena melihat fakta bahwa  dia (Markhan/Mordekhai) telah dapat mengukuhkan identitasnya sebagai seorang Arab. 

Mereka sepakat untuk menghentikannya, kemudian menyerang kota Dir’iyah dan berhasil menakluknya. Malangnya sebelum dapat ditawan, Markhan bin Ibrahim Musa dapat melarikan diri.
Mordakhai pun mencari perlindungan di sebuah kebun di Al-Malibiid-Ghusaiba dekat Al-Arid, yang dimiliki oleh seorang Arab. Sekarang, kota itu dinamakan Al-Riyadh.

Pemilik kebun yang ramah itu memberikan tempat perlindungan pada Markhan (Mordakhai). Namun belum sampai sebulan tinggal di kebun itu, Mordakhai membunuh pemilik kebun beserta anggota keluarganya. 

Mordakhai kemudian mengarang cerita bahwa pemilik kebun dan keluarganya telah dibunuh oleh perampok.
Markhan (Mordakhai) membuat cerita rekayasa dengan mengaku telah membeli tanah dari pemilik kebun tersebut sebelum kejadian pembunuhan itu. Maka tinggallah dia disana sebagai pemilik tanah yang baru. kemudian daerah itu diberikan nama baru : Al-Di’riyah, nama yang sama dengan tempat sebelum yang ditinggalkannya.

Markhan (Mordakhai) kemudian membangun sebuah “Guest House” yang disebutnya “Madaffa” di atas tanah yang direbut dari korbannya. Maka berkumpullah disekelilingnya kelompok munafik yaitu orang-orang yang menyebarkan propaganda bohong bahwa Mordakhai adalah seorang Syekh Arab terkemuka. 

Mereka merencanakan untuk membunuh Syekh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi yang merupakan musuh Markhan (Mordakhai). Syekh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi pun berhasil dibunuh di sebuah masjid di kota Al-Zalafi.
Puas dengan hasil kejahatannya (membunuh Syekh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi), Markhan (Mordakhai)  kemudian menjadikan Al-Dir’iyah sebagai tempat tinggalnya. 

Di Al-Dir’iyah inilah Markhan (Mordakhai) berpoligami dan beranak-pinak, dan anak-anaknya diberi nama dengan nama asli orang Arab.

Sejak saat itu, keturunan dan kekuasaan mereka tumbuh berkembang. Di bawah nama Suku Saudi, mereka mengikuti jejak Mordakhai dan kegiatannya dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi serta berkonspirasi melawan bangsa Arab. 

Dengan cara licik, mereka menguasai daerah pedalaman dan tanah-tanah kebun, serta membunuh setiap orang yang menghalangi rencana jahat mereka.

Untuk mempengaruhi penduduk-penduduk di wilayah itu, mereka menggunakan segala macam  tipu daya demi mencapai ambisi. 

Mereka menyuap orang-orang yang tidak sefahaman dengan mereka menggunakan uang dan perempuan, menyuap penulis-penulis sejarah untuk menuliskan biografi sejarah keluarganya supaya bersih dari kejahatan. 

Mereka juga menyuruh dibuatkan silsilah keluarga bersambung kepada suku-suku Arab terhormat seperti bani Rabi’áh, Anza dan Al-Masalikh.

Mohammad Amin At-Tamimi, seorang Direktur Perpustakaan Kontemporer Kerajaan Saudi, merekayasa dengan menyusun garis keturunan  untuk Keluarga Yahudi tsb (Keluarga Saudi Markhan/Mordakhai) dengan menghubungkannya kepada Nabi Muhammad SAW. 

Seperti telah disebut di atas, #YAHUDI_ADALAH_NENEK_MOYANG_KELUARGA_SAUDI (Markhan/Mordakhai) yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab melahirkan banyak anak. Pola poligami Markhan/Mordakhai dilanjutkan oleh anak keturunannya.

Salah seorang anak Markhan/Mordakhai yang bernama Al-Maqaran, (dalam bahasa Yahudi : Mack-Ron) mempunyai anak bernama #MUHAMMAD dan anak yang lainnya bernama #SAUD. 

Dari keturunan Saud inilah Dinasti Saudi berkembang hingga kini.
Keturunan Saud pun (Keluarga Saud) yang memulai pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku Arab dengan alasan mereka telah MURTAD, mengkhianati agama Islam, meninggalkan ajaran-ajaran Al-Quran, dan keluarga Saud membunuh mereka atas nama Islam.

===================
Dalam buku sejarah Keluarga Saudi, penulis pribadi sejarah keluarga Saudi menyatakan bahwa Dinasti Saudi menganggap semua penduduk Najd saat itu tidak bertauhid dengan sempurna. Oleh karena itu darah mereka halal, harta-bendanya dirampas, wanita-wanitanya dicabuli dan tidak seorang muslim pun yang dianggap benar, kecuali pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab (yang aslinya juga keturunan Yahudi Turki).

Doktrin Wahhabi memberikan hak kuasa kepada Keluarga Saudi untuk menghancurkan perkampungan dan penduduknya, termasuk anak-anak. Kaum wanitanya diperkosa, dan mereka menusuk perut wanita-wanita hamil, memotong tangan anak-anak, kemudian membakarnya. 

Selanjutnya, mereka bebas untuk mempraktikkan ajarannya yang kejam untuk merampas semua harta kekayaan milik orang yang dianggap oleh mereka telah menyimpang dari ajaran agama karena tidak mengikuti ajaran Wahhabi.

Keluarga Yahudi yang kejam dan mengerikan ini melakukan segala kekejaman atas nama agama palsu mereka (sekte Wahhabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi untuk menaburkan benih-benih ketakutan ke dalam hati penduduk di kota maupun kampung.

Pada tahun 1163 H, dinasti Yahudi (Dinasti Saud) mengganti nama Semenanjung Arabia dengan nama keluarga mereka, menjadi SAUDI ARABIA, seolah-olah seluruh wilayah itu milik peribadi mereka. Penduduk-penduduknya bekerja keras siang dan malam untuk kesenangan tuannya, yaitu Keluarga Saud.
Mereka dengan sepenuhnya menguasai kekayaan alam negeri tsb seperti milik pribadi. 

Bila ada rakyat jelata yang mengemukakan penentangannya atas kekuasaan sewenang-wenang dinasti Yahudi /Saud ini, dia akan di hukum pancung di lapangan terbuka .

----------------------------------------
PENGAKUAN RAJA SAUDI

Selain dari hasil penelitian Mohammad Sakher, pada akhirnya Raja Saudi MENGAKU BAHWA MEMANG DIA KETURUNAN YAHUDI.
Hal tersebut bermula pada tahun 1960-an dimana pemancar radio “Sawt Al-Arab” di Kairo, Mesir, dan pemancar radio di Sana’a, Yaman, membuktikan bahwa nenek moyang Keluarga Saudi adalah Yahudi.

Raja Faisal Al-Saud pun  membenarkan bahwa keluarganya adalah keluarga Yahudi (pernyataannya pada THE WASHINGTON POST tanggal 17 September 1969.
Berikut pernyataan pengakuannya : 

************************
“Kami, Keluarga Saudi, adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhannya kepada Yahudi. Sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia merupakan sumber awal Yahudi dan nenek moyangnya, dari sana menyebar ke seluruh dunia”.
*************************
Itulah pernyataan Raja Faisal Al-Saud bin Abdul Aziz.

Hafez Wahbi, Penasihat Hukum Keluarga Kerajaan Saudi, menulis dalam bukunya yang berjudul “Semenanjung Arabia”, bahwa Raja Abdul Aziz yang mati tahun 1953 mengatakan : 
“Pesan Kami (Pesan Saudi) dalam menghadapi penentangan dari suku-suku Arab ; Datukku, Saud Awal, menceritakan saat tertawannya sejumlah Syekh dari Suku Mathir. Dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk menengahi dan meminta untuk dibebaskan semua tawanannya, Saud Awal memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk memenggal kepala semua tawanannya. 

Kemudian beliau mempermalukan para penengah dengan cara mengundang mereka ke jamuan makan. Makanan yang dihidangkan adalah daging manusia yang sudah dimasak, hasil dari pemenggalan kepala tawanan yang diletakkannya di atas piring.

Para penengah menjadi terkejut dan menolak untuk makan daging saudara mereka sendiri. Oleh kerana mereka menolak untuk memakannya, Saud Awal memerintahkan supaya kepala mereka dipenggal juga".

Itulah kejahatan yang sangat mengerikan yang telah dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya sebagai raja kepada rakyat yang tidak berdosa. Kesalahan para korban (orang-orang yang dipenggal) hanya karena  menentang kejahatan raja.

Hafez Wahbi  menceritakan lagi sejarah yang berkaitan dengan kisah berdarah yang menimpa Syekh suku Mathir dan sekelompok suku Mathir yang mengunjunginya dalam rangka meminta pembebasan pimpinan mereka yang menjadi tawanan Raja Abdul Aziz Al-Saud yang bernama Faisal Al-Darwis.

Kisah penyembelihan itu diceritakan kepada utusan suku Mathir sebagai langkah pencegahan agar mereka tidak meminta pembebasan pimpinan mereka, bila terus memaksa, mereka akan diperlakukan dengan sama. 

FAISAL DARWIS PUN DIBUNUH dan #DARAHNYA_DIGUNAKAN_UNTUK_WUDHU sang algojo (algojo sholat sebelum mengeksekusi korban).

Kesalahan Faisal Darwis waktu itu hanyalah karena dia mengkritik Raja Abdul Aziz Al-Saud, ketika raja menandatangani dokumen yang disiapkan penguasa Inggris pada tahun 1922 sebagai pernyataan memberikan Palestina kepada Yahudi (SAUDI MENYERAHKAN PALESTINA PADA ISRAEL). 

Penyerahan Palestina oleh Saudi kepada Yahudi ditanda-tanganinya dalam sebuah konferensi di Al-Qir pada tahun 1922.

Penulis: Sayidah NA.

Posting Komentar

Beri masukan dan tanggapan Anda tentang artikel ini secara bijak.

Lebih baru Lebih lama
Posts ADS 3